Jumat, 27 Mei 2016

Pemindahaan ibu kota kabupaten dan pimilukada Maybarat di landa konflik

Konflik Pemindahan Ibut Kota Kabupaten Maybrat dan Pemilukada kabupaten Maybrat Papua Barat

Profil Entitas Kabupaten Maybrat
Sejarah
Kabupaten Maybrat adalah salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Papua Barat. Kabupaten Maybrat dibentuk pada tanggal 16 Januari 2009 disahkan melalui UU RI Tahun 2009 Nomor 13 tentang Pembentukan Kabupaten Maybrat sebagai hasil pemekaran dari kabupaten Sorong.Pusat Pemerintahan dari Kabupaten maybrat berada di Kumurkek diDistrik Aifat. Kabupaten Maybrat memiliki sebelas distrik yaitu :
1)      Distrik Aifat
2)      Distrik Aifat Utara
3)      Distrik Aifat Timur
4)      Distrik Aifat Selatan
5)      Distrik Aitinyo Barat
6)      Distrik Aitinyo
7)      Distrik Aitinyo Utara
8)      Distrik Ayamaru
9)      Distrik Ayamaru Utara
10)  Distrik Ayamaru Timur
11)  Distrik Mare
Geografis
Secara Geografis Kabupaten Maybrat berbatasan dengan :
Utara    : FEF,Senopi, Kebar
Selatan : Kokoda, Kais
Barat    : Moswaren, Wayer, Sawiat
Timur  : Moskona Utara, Moskona Selatan
Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten Maybrat Provinsi Papua Barat meminta memindahkan ibukota pemerintah Daerah ke Ayamaru dalam sidang pengujian UU No. 13 Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabupaten Maybrat di Mahkamah Konstitusi (MK).Pemohon I Bupati Bernard Sagrim dan Pemohon II Ketua DPRD Moses Murafer mempermasalahkan UU Pembentukan Kabupaten Maybrat yang menyebutkan bahwa Ibukota Kabupaten Maybrat berkedudukan di Kumurkek Distrik Aifat.
Kuasa Hukum Pemohon Andi Asrun, saat membacakan permohonan di Jakarta, Senin, mengatakan kedudukan Ibukota Maybrat di Kumurkek Distrik Aifat telah menghilangkan aspirasi keinginan masyarakat yang seharusnya menjadi bahan pertimbangan para pengambil kebijakan. Asrun juga mengungkapkan bahwa ketentuan tersebut telah menimbulkan konflik horizontal antarsuku.
"Pada tanggal 20 Januari 2009 di Kampung Yokase Distrik Ayamaru Utara telah terjadi konflik antara Suku Ayamaru, Aitinyo, dan Aifat yang mengakibatkan rusaknya berbagai fasilitas dan prasarana Pemerintah Ayamaru Utara yang dirusak oleh massa," kata Asrun. Dia juga menjelaskan bahwa pemerintah daerah hingga saat ini belum melakukan pembangunan infrastruktur karena letak geografis Kumurkek yang jauh dan sulit dijangkau oleh masyarakat.
Hal ini masih dipersulit dengan belum adanya sarana, prasarana dan infrastruktur dasar guna menunjang kelangsungan dan kelancaran pemerintahan, seperti belum adanya jalanan, jembatan, dan gedung pemerintahan.Dengan demikian, Asrun meminta MK memberikan penafsiran yang tegas terhadap UU Pembentukan Kabupaten Maybrat yang pada intinya memerintahkan pemerintah pusat agar menempatkan pusat pemerintahan daerah Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat terpusat di Ayamaru. Sidang perdana pengujian UU Pembentukan Kabupaten Maybrat ini dipimpin Akil Mochtar sebagai ketua majelis panel didamping anggotanya Maria Farida dan Hamdan Zoelva.

Ibukota Kabupaten Maybrat Dipindah, Warga Protes
Tim Penyelamat Kabupaten Maybrat, Apolos Sewa mengatakan, pemindahan secara sepihak Ibukota Maybrat dari Kumurkek ke Ayamaru memicu protes warga, dan berpotensi memicu perang suku di Kabupaten Maybrat, Papua Barat.
Apolos menjelaskan, Mendagri Gamawan Fauzi telah mengeluarkan surat 4 Desember 2014 soal pemfungsian ibukota Maybrat di Kumurkek. Oleh karena itu, Bupati Maybrat, Bernard Sagrim telah membangkang putusan mendagri tersebut.  "Surat tersebut diabaikan oleh bupati.kementerian dalam negeri juga telah meminta gubernur Papua Barat untuk memfasilitasi pemberhentian bupati Maybrat karena membangkang terhadap keputusan Mendagri. "Namun Bupati tidak mengindahkan," tegasnya, Senin (22/9/2014).
Dia mengatakan, agar konflik berkepanjangan di Kabupaten Maybrat segera berakhir, harus segera diciptakan solusi diantaranya segera membentuk daerah otonom baru."Pembentukan daerah otonom ini sudah dibahas dalam rapat yang dipimpin oleh Dirjen Otda Djo Hermansyah," tegas Apolos.
Pihaknya juga juga telah  melaporkan ketidakstabilan penyelenggaraan pemerintahan Maybrat, Papua sejak dimekarkan tahun 2009 kepada Komnas HAM. Tim penyelamat meminta Komnas Ham untuk segera membantu kabupaten Maybrat bebas dari konflik suku.
"Kami masyarakat Tim Penyelamat Kabupaten Maybrat memohon kepada Komnas Ham agar berkenan membantu kami menyampaikan pengaduan kepada Kementerian Dalam Negeri dan Komisi II DPR RI agar menjadi prioritas untuk dibahas dalam panja,"

Pemerintahan Maybrat Harus Dikembalikan ke Kumurkek
Mendagri Beri Batas Waktu Hingga Bulan Maret
Gubernur Papua Barat telah dimandatkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk memfasilitasi difungsikannya ibukota Kabupaten Maybrat berdasarkan pasal 7 UU Nomor 13 Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabupaten Maybrat dengan ibukota berkedudukan di Kumurkek Distrik Aifat, mengingat selama ini aktifitas pemerintahan Kabupaten Maybrat dilaksanakan di luar ibukota kabupaten. Demikian dikemukakan oleh anggota DPRD Kabupaten Maybrat, Maksimus Air,SE yang didampingi Paskalis Baru,S.Pd dan Sepnat Momau, di lobby hotel Merdien, semalam (6/1).
Dijelaskannya, Mendagri Gamawan Fauzi telah mengeluarkan surat tertanggal 4 Desember 2012 yang ditujukan kepada Gubernur Papua Barat, agar memfasilitasi pemfungsian kembali pemerintahan Maybrat di Kumurkek. Surat Mendagri tersebut lanjut Maksimus, menegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-VII tertanggal 12 November 2009 yang menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima.Putusan MK ini telah final menyatakan menolak gugatan Bupati Maybrat pada saat itu terkait gugatan Bupati Maybrat untuk memindahkan letak ibukota Kabupaten Maybrat di Kumurkek untuk dipindahkan ke Ayamaru.Jadi kalau, ada pihak-pihak yang membaca pertimbangan hakim, kami perlu meluruskan bahwa pertimbangan hakim tidak bisa dijadikan alat untuk mengorek keputusan MK, tegas Maksimus.
Dalam poin kedua surat Mendagri ke Gubernur Papua Barat, Maksimus mengatakan, untuk efektifitas penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Maybrat, Mendagri meminta Gubernur untuk melakukan fasilitasi pemfungsian kelembagaan perangkat daerah yang ada dan konsolidasi penataan personil. Ini berkaitan dengan penempatan personil yang tidak sesuai berdasarkan UU Kepegawaian, penempatan personil tidak sesuai dengan pangkat dan golongan, misalkan pegawai golongan 2 bisa jadi Kepala Distrik, sekertaris kampong yang SK-nya dari Jakarta bisa dipindahkan ke SKPD, banyak guru dan tenaga medis diangkat jadi pejabat sehingga pendidikan dan kesehatan tidak bisa diurus dengan baik ini, tukas Maksimus Air.
Dikatakannya, dalam point ketiga surat tersebut, Mendagri memerintahkan kepada Gubernur Papua Barat bahwa seluruh kegiatan penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Maybrat harus di Kumurkek paling lambat efektif bulan Maret 2013. Surat ini resmi dikeluarkan oleh Mendagri Gamawan Fauzi dan ditandagangani, tidak ada rekayasa dalam surat ini, jadi pemerintah harus melaksanakan amanat undang-undang, tegas Maksimus Air sembari menunjukkan salinan surat Mendagri tersebut kepada wartawan. Dalam kapasitas sebagai wakil rakyat, Maksimus yang didampingi dua anggota DPRD Maybrat lainnya, menegaskan bahwa pemerintahan Kabupaten Maybrat harus kembali ke Kumurkek, tidak ada alasan apapun untuk tidak memindahkan ibukota ke Kumurkek. Kalau selama ini ada alasan bahwa Kumurkek tidak aman, harus dibuktikan, tidak aman dari sisi apa. Juga ada laporan bahwa Kumurkek itu daerah OPM, harus dibuktikan, basisnya dimana, pentolannya siapa-siapa, pembiayaannya dari mana, kegiatan rutinitas yang selama ini terjadi itu apa?, tegasnya.  Di wilayah Papua Barat ini OPM secara terstruktur itu tidak ada, sebenarnya kami ini adalah pejuang reformasi yang akhirnya kemudian dinikmati oleh semua pejabat di tanah ini. Kumurkek itu aman 100 persen, rakyat di Aifat sama dengan rakyat di Ayamaru dan Aitinyo, tambah Maksimus.
Paskalis Baru,S.Pd dalam kesempatan ini mengharapkan Bupati Maybrat harus berjiwa besar dan tulus. Kalau selalu berbicara bahwa kita semua adalah anak Tuhan, maka harus menerima sebagai seorang anak Tuhan. Juga kepada pihak TNI dan Polri yang selama ini memback-up Bupati dalam hal pengawalan dalam menjalankan tugas kedinasannya, dengan telah dikeluarkannya surat Mendagri ini, maka diminta untuk berhenti dengan cara-cara seperti itu, karena hal ini hanya akan menambah konflik di Kabupaten Maybrat, tegasnya. Ditambahkannya, surat Mendagri ini tidak ditujukan kepada Bupati Kabupaten Maybrat, tetapi kepada Gubernur Papua Barat, dan selanjutnya Gubernur-lah yang harus mengambil langkah-langkah untuk menindaklanjuti surat Mendagri tersebut. Terkait instruksi Mendagri ini, Gubernur Papua Barat belum berhasil dimintai tanggapannya. 

Pemilukada Maybrat
Semarak pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada), hampir terasa di sejumlah kabupaten/kota di Tanah Papua. Dari kabupaten induk hingga kabupaten pemekaran, ada yang telah dan sedang dalam tahapan menuju pelaksanaan event lima tahunan ini. Kondisi ini ditandai dengan ramainya baliho, spanduk dan poster yang terpajang di tempat-tempat umum. Tujuannya tidak lain, mensosialisasikan wajah dan visi-misi para calon pemimpin yang akan bertarung meraih mandat rakyat secara langsung.
Lagi-lagi, semarak pemilukada seakan menyita perhatian rakyat asli Papua yang kini mulai ‘malas tau’ atau anti pati dengan keberadaan Otonomi Khusus.Situasi ini belakangan cukup beralasan.Sebab, ditengah kesemrawutan (ketidak jelasan) pelaksanaan Otsus, perhatian rakyat asli Papua justru tertuju pada pemilukada. Ini terjadi karena ada wacana bombastis yang digembar-gemborkan bahwa lewat pemilukada akan muncul pemimpin yang bisa memperhatikan kesejahteraan rakyat. Praktis, wacana ini lalu menjadi ’pemanis’ yang menggaet perhatian rakyat Papua di kota hingga kampung-kampung terpencil.
Konon, masyarakat kampung yang tadinya hanya sibuk mengurus kebun, menokok sagu, berburu dan melaut, kini secara sukarela meninggalkan aktivitas itu selama berhari-hari karena ikut dimobilisasi dalam kampanye. Situasi ini terlihat dari rentetan pemilukada di beberapa kabupaten seperti, Yahukimo, Supiori, Asmat, Yalimo, Lani Jaya, Manokwari, Maybrat, Tambrauw, dan lain-lain. Momentum pemilukada juga membuat masyarakat gelisah.Berharap melihat calon pemimpin pujaannya segera memenangkan pertarungan dan menduduki kursi kepala daerah (berkuasa).
Bukan hanya itu, pilkada juga membuat sesama keluarga dekat (inti) yang hidup serumah atau sekampung malahan ikut-ikutan bersitegang (bertengkar) lantaran memiliki calon pujaan yang berbeda. Sampai-sampai masyarakat yang tidak tahu-menahu soal politik seperti keburu mimpi indah bahwa lewat pemilukada realitas hidup mereka yang tadinya susah akan berubah drastis menjadi lebih baik. Situasi demikian tentu berbeda dengan masyarakat asli Papua yang bermukim di kota. Mereka yang memiliki tingkat ekonomi dan pendidikan politik yang jauh lebih maju dari masyarakat di kampung, sebaliknya tidak begitu antusias dengan momentum pemilukada.
Ada yang bahkan tidak mau menggunakan hak pilihnya, alias memilih golongan putih (golput). Ini terjadi karena munculnya kesadaran kritis dalam memandang event lima tahunan ini lebih sebagai sinetron demokrasi. Artinya, meskipun diulang tiap lima tahun sekali, toh pemimpin yang terpilih tetap begitu-begitu saja. Sikap itu pun tak bedanya dengan masyarakat migran (non Papua) yang selama ini masih apatis dengan perhelatan pemilukada di Tanah Papua.Tak jarang muncul pemikiran seperti ini, “untuk apa ikut-ikutan pemilukada kalau hasilnya nanti tidak mengakomodir kepentingan kita.”
Meskipun sudah lama menetap di Papua, masih tetap ada masyarakat migran yang menganggap event pemilukada dilakukan hanya bagi orang asli Papua.Kalau pun mereka ikut dalam pemilukada, ini hanya sebatas formalitas karena bukan lahir dari suatu kesadaran politik berdemokrasi.Tragisnya, perhelatan pemilukada di Tanah Papua sejauh ini tidak pernah sepi dari berbagai polemik.Di beberapa wilayah konflik pun pecah hingga terjadi berulang-ulang. Satu peristiwa yang masih segar di ingatan kita adalah bentrok warga di Kab. Maybrat, akhir Juli 2011 lalu.Akibatnya, salah satu warga masyrakat asal kampung Ayawasi beranisial K. T membacok ketua KPUD Kab. Maybrat dengan pedang milik-nya. Namun, nasib korban masih selamat ditertolong oleh pihak medis. Penyebab bentrok ini terjadi karena ketidak puasaan warga terhadap rekaptulasi suara KPU Kab. Maybrat “menurut mereka/warga bahwa bahwa ketua KPU telah melakukan tindakan tidak merata yaitu memanupulasi dafatr pemiliahn tetap (DPT), karena katu KPU telah disogog oleh salah satu kanidat dengan perjanjian politik” ungkap salah satu warga asal kampong Maan Distrik Aifat Utara Fabianus. Baru
Peristiwa ini sempat mendapat pemberitaan media massa di Indonesia maupun media internasional seperti BBC, VOA, Radio Netherland dan Radio Autralia. Bentrok di Kab. Maybrat bermula dari adanya dukungan ganda DPC Partai Golkar kepada dua calon kandidat yang berbeda.Dualisme dukungan ini membawa ketegangan diantara kedua calon hingga ikut menyulut ketegangan diantara kedua kubu pendukung calon.Hasilnya, bentrok tak bisa dicegah hingga pecah di hari pertama Sabtu (30/7) dan Minggu (31/7).Padahal KPUD setempat belum melakukan verifikasi berkas para calon kandidat untuk menyatakan mana yang lolos verifikasi dan mana yang tidak.
Dampak dari konflik ini sempat membuat situasi di wilayah ini mencekam selama beberapa minggu sehingga membutuhkan campur tangan aparat keamanan. Selanjutnya di awal September 2011, konflik di wilayah yang sama kembali terulang dengan melibatkan warga masyarakat. Meskipun tidak ada korban jiwa dalam insiden ini, beberapa orang yang terprovokasi hasutan telah melakukan tindakan anarkis dengan merusak dan membakar sejumlah bangunan.Selain konflik pemilukada di Kab. Maybrat sebelumnya juga diberitakan media bahwa konflik pemilukada pun pernah terjadi di beberapa daerah di Kab. Maybrat
Misalnya, kisruh berbuntut pembakaran kantor-kantor di Maybrat,  kasus pembacokan ketua KPUD dan pembakaran kantor KPUD Maybrat, atau kisruh terkait proses pencalonan pada pemilukada Kab. Maybrat (Prov. Irian Jaya Barat).Belum lagi jika disinggung satu per satu mengenai perkara sengketa para calon yang bertarung dalam pemilukada dengan KPUD sebagai institusi penyelenggara pemilihan.Sengketa semacam ini umumnya berakhir di Mahkamah Konstitusi (MK) RI Jakarta. Sebut saja polemik seputar pemilukada  Kab. Maybrat yang berujung penggantian ketua KPU dan ketua Panwaslu Kab. Maybrat lantaran terlibat tindak pidana pemilukada, serta pelaksanaan pemilihan harus berlangsung 2 kali putaran.
Padahal sebagai sebagai kabupaten baru yang dimekarkan, lewat penyelenggaraan pemilihan yang baik akan memberi pembelajaran politik bagi kabupaten lain yang hendak melangsungkan pemilukada. Kabupaten Maybrat juga mestinya bisa mempelopori kemajuan berdemokrasi dan berpolitik di Tanah Papua.Sebab disinilah pusat pembangunan dan gudangnya kalangan cendekiawan Papua. Mulai dari para politisi dan fungsionaris partai yang terpelajar, kaum agamis, media massa, hingga aktivis (LSM/perorangan) yang kritis semuanya berbasis disini. Hanya saja, dalam pelaksanaan pemilukada ternyata bertolak belakang dengan keunggulan Kab. Maybrat sebagai pusat kemajuan.
Ada kesan bahwa sejumlah kalangan seperti disebutkan itu kurang memberi sumbangsih nyata terhadap kemajuan berdemokrasi bagi masyarakat di Kab. Maybrat. Lebih-lebih pendidikan politik bagi masyarakat pinggiran (marginal) yang hidup dari hasil berkebun, membabat hutan, memecah batu, berjualan pinang, dan lain-lain. Pengalaman membuktikan bahwa kelompok-kelompok marginal, kaum miskin kota dan kaum yang kurang beruntung dalam indikator kemajuan (modern) inilah yang sering menjadi sasaran garapan partai dan elit politik. Kelompok ini memang mudah ditaklukan lewat cara bagi-bagi duit (uang), bagi sembako/beras hingga kegiatan pengobatan gratis yang dibuat secara insidentil oleh partai atau tim sukses calon menjelang pemilukada/pemilu.
Nah, konflik berupa bentrok massa yang terkait dengan pemilukada seperti diuraikan sebelumnya memang tidak terlepas juga dari realitas politik ‘buang umpan’ semacam itu. Disisi lain, konflik itu nyata-nyata telah mencoreng esensi dari semangat berdemokrasi itu sendiri. Dengan begitu ini memunculkan kesan bahwa jangan-jangan pemberlakuan demokrasi ala barat (Eropa dan AS) berwujud pemilukada (pemilu) bisa jadi bertolak belakang dengan realitas perkembangan orang Papua hari ini.Seperti kata Romo Magnis Suseno, demokrasi model ini hanya bisa berjalan efektif jika diterapkan di negara-negara kapitalis yang tingkat kesejahteraan mayoritas rakyatnya sudah mumpuni.
Disamping tingkat kesadaran dan pendidikan politik rakyatnya juga sudah mapan. Sebab hal ini akan membentuk rakyat pemilih yang rasional (cerdas) dalam memilih pemimpin atau wakilnya di parlemen ketika berlangsung pemilihan. Jadi, dalam hal ini rakyat bukan lagi memilih pemimpin atas dasar dorongan primordialisme kesukuan (klen, marga, hubungan emosional) sempit, seperti yang masih kental terjadi di Tanah Papua.Atau karena politik bagi uang (money politik), pembagian sembako dan beras murah jelang pemilukada atau pemilu.Akibatnya situasi ini membentuk para pemilih yang tidak rasional dan hanya terlena pada situasi (pragmatis) dalam menentukan pemimpin.
Belum lagi, jika tingkat kesadaran dan pendidikan politik yang rendah, membuat para elit dan fungsionaris partai mudah memobilisai rakyat untuk tujuan politiknya. Pantas saja, dalam situasi semacam ini massa pendukung calon berbeda yang tidak mengerti politik dan demokrasi sering terprovokasi hingga bentrok. Padahal dalam etika politik, baik elit dan parpol wajib memberi penyadaran dan pendidikan politik bagi rakyat agar menjadi pemilih yang cerdas.Bukan sebaliknya menjadi pemilih yang tidak rasional, ikut-ikutan dan pragmatis.Bisa dimengerti, mengapa demokrasi yang seharusnya tercermin dari pemilukada, sejauh ini hanya dimaknai dalam pengertian sempit?
Tentu ini lebih disebabkan oleh demokrasi bercorak primordialisme sempit, yang oleh para elit lokal Papua sering dimanfaatkan sebagai jalan mencari kekuasaa.Lalu ketika berkuasa, ada peluang untuk memperkaya diri dan kelompok dengan jalan menumpuk materi sebanyak-banyaknya.Demokrasi yang secara sederhana dipahami sebagai “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat,” dalam prakteknya telah bergeser menjadi “dari rakyat, oleh rakyat tapi untuk satu dan sekelompok orang.”Ini persis terlihat ketika semua energi yang dikorbankan rakyat hampir terlupakan begitu saja oleh elit-elit politik pembual dan partai politik yang tak tahu berbalas budi.
Padahal disaat-saat kampanye, kaum buruh, petani, nelayan dan kaum miskin kota yang ikut termobilisasi harus rela menahan haus bercampur lapar ditengah terpaan terik matahari. Ini demi mendengar retorika muluk-muluk dari sang calon yang telah menjual tampang di tempat umum via baliho dan pamflet. Toh hasilnya rakyat tetap saja menjadi tumbal bagi para elit petualang politik untuk memenuhi hasrat kekuasaan. Sembari tetap tidak peduli kalau rakyat pendukungnya sejak awal telah berkutat mati-matian hanya untuk membela sang calon pujaannya.

Ketika sudah menjadi pemimpin, namun karena dianggap tidak becus memimpin, rakyat pun tak berdaya menurunkan pemimpinya.Sebab memang tidak ada mekanisme untuk itu. Lagi pula dalam sistem politik Indonesia, tidak ada aturan hukum yang memungkinkan dibuatnya semacam “kontrak politik” antara rakyat dan elit politik yang mau memimpin. Ini agar rakyat secara langsung bisa menurunkan (memecat) pemimpin yang dinilai tidak beres melalui mosi tidak percaya dalam suatu aksi massa. Tapi itu mustahil, karena demokrasi berwujud pemilukada mungkian akan tetap menguras energi rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar