A. Profil
dan riwayat hidup Emile Durkheim
Lahir di
Epinal propinsi Lorraine, Perancis Timur pada tanggal 15 April 1858. Dia
termasuk dalam tokoh Sosiologi yang memperbaiki metode berpikir Sosiologis yang
tidak hanya berdasarkan pemikiran-pemikiran logika filosofis tetapi Sosiologi
akan menjadi suatu ilmu pengetahuan yang benar apabila mengangkat gejala sosial
sebagai fakta-fakta yang dapat diobservasi.
Dia
dilahirkan dalam keluarga agamis namun pada usia belasan tahun minat terhadap
agama lebih akademis daripada teologis. Pada usia 21 tahun Durkheim diterima di
Ecole Normale Superieure setelah sebelumnya gagal dalam ujian masuk. Di
Universitas tersebut dia merupakan mahasiswa yang serius dan kritis, kemudian
pemikiran Durkeim dipengaruhi oleh dua orang profesor di Universitasnya itu
(Fustel De Coulanges dan Emile Boutroux).
Setelah
menamatkan pendidikan di Ecole Normale Superieure, Durkheim mengajar filsafat
di salah satu sekolah menengah atas (Lycees Louis-Le-Grand) di Paris pada tahun
1882 sampai 1887. Kemudian masih pada tahun 1887 (29 tahun) disamping
prestasinya sebagai pengajar dan pembuat artikel dia juga berhasil mencetuskan
sosiologi sebagai disiplin ilmu yang sah di bidang akademik karena prestasinya
itu dia dirgai dan diangkat sebagai ahli ilmu sosial di fakultas pendidikan dan
fakultas ilmu sosial di universitas Bourdeaux.
Tahun 1893
Durkheim menerbitkan tesis doktoralnya dalam bahasa perancis yaitu The Division
of Labour in Society dan tesisnya dalam bahasa Latin tentang Montesqouieu.
Kemudian tahun 1895 menerbitkan buku keduanya yaitu The Rules of Sociological
Method. Tahun 1896 diangkat menjadi professor penuh untuk pertama kalinya di
Prancis dalam bidang ilmu sosial.
Tahun 1897
menerbitkan buku ketiganya yang berjudul Suicide (Le-Suicide) dan mendirikan
L’AnĂ©e Sociologique (jurnal ilmiah pertama tentang Sosiologi). Tahun 1899
Durkheim ditarik ke Sorbonne dan tahun 1906 dipromosikan sebagai profesor penuh
dalam ilmu pendidikan. Enam tahun keudian (1912) menerbitkan karya keempatnya
yaitu The Elementary Forms of Religious Life. Satu tahun setelahnya (1913)
kedudukannya diubah menjadi professor ilmu Pendidikan dan Sosiologi. Pada tahun
ini Sosiologi resmi didirikan dalam lembaga pendidikan yang sangat terhormat di
Prancis.
Tahun 1915
Durkheim mendapat musibah, putranya (Andre) cedera parah dan meninggal. Pada 15
November 1917 (pada usia 59 tahun) Durkheim meninggal sesudah menerima
penghormatan dari orang-orang semasanya untuk karirnya yang produktif dan
bermakna, serta setelah dia mendirikan dasar Sosiologi ilmiah.
B.
Teori-teori Emile Durkheim
1. Teori
Solidaritas (The Division of Labour in Society)
Dalam buku
ini menerangkan bahwa masyarakat modern tidak diikat oleh kesamaan antara
orang-orang yang melakukan pekerjaaan yang sama, akan tetapi pembagian kerjalah
yang mengikat masyarakat dengan memaksa mereka agar tergantung satu sama lain.
solidaritas menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara individu dan / atau
kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut
bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.
a.
solidaritas mekanis
Masyarkat
yang ditandai dengan solidaritas mekanis menjadi satu padu karena seluruh orang
adalah generalis. Ikatan dalam masyarakat seperti ini terjadi karena mereka
terlibat dalam aktivitas yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama. Oleh
karena itu hubungan antar masyrakatnya sangat erat satu sama lain.
solidaritas
mekanis dibentuk oleh hokum represif karena anggota masyarakat jenis ini
memiliki kesamaan satu sama lain, dan karena mereka cenderung sangat percaya
pada moralitas bersama, apapun pelanggaran terhadap system nilai bersama tidak
akan dinilai main-main oleh setiap individu. Pelanggar akan dihukum atas
pelanggaranya terhadap system moral kolektif. Meskipun pelanggaran terhadap system
moral hanya pelanggaran kecil namun mungkin saja akan dihukum dengan hukuman
yang berat.
b.
solidaritas organic
Masyarakat
yang ditandai oleh solidaritas organis bertahan
bersama justru dengan perbedaan yang ada didalamnya, dengan fakta bahwa semua orang
memiliki pekerjaan dan tanggung jawab berbeda-beda. Karena masyarakat modern
relatif memperlihatkan lapangan pekerjaan yang sempit, maka mereka membutuhkan
banyak orang untuk bertahan. Keluarga modern membutuhkan penjual makanan,
tukang roti, tukang daging, montir, guru, polisi, akuntan dan lain sebagainya.
Masyrakat tersebut pada gilirannya membutuhkan bermacam-macam jasa dari orang
lain agar dapat bertahan hidup di era modern ini. Dalam pandangan durkheim,
masyrakat modern dipertahankan bersama oleh spesialisasi orang dan kebutuhan
mereka akan jasa sekian banyak orang. Spesialisasi ini tidak hanya pada tingkat
individu saja, akan tetapi juga kelompok, struktur, dan institusi.
masyarakat
solidaritas organic dibentuk oleh hukum restitutif. Dimana seseorang yang
melanggar harus melakukan restitusi untuk kejahatan mereka, pelanggaran dilihat
sebagai serangan terhadap individu tertentu atau sekmen tertentu dari
masyarakat bukannya terhadap sistem moral itu sendiri. Dalam hal ini, kurangnya
moral kebanyakan orang tidak melakukan reaksi xecara emosional terhadap
pelanggaran hukum. Durkheim berpendapat masyarakat modern bentuk solidaritas
moralnya mengalami perubahan bukannya hilang.
Dalam
masyarakat ini, perkembangan kemandirian yang diakibatkan oleh perkembangan
pembagian kerja menimbulkan kesadaran-kesadaran individual yang lebih mandiri,
akan tetapi sekaligus menjadi semakin tergantung satu sama lain, karena
masing-masing individu hanya merupakan satu bagian saja dari suatu pembagian
pekerjaan sosial.
2. Fakta
Sosial (The Rule Of Sociological Method)
Fakta sosial
adalah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri
individu sebagai sebuah paksaan eksternal; atau bisa juga dikatakan bahwa fakta
sosial adalah seluruh cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat, dan
pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari manifestasi-manifestasi
individual.
Durkheim
membedakan dua tipe ranah fakta sosial:
a Fakta sosial Material
Fakta sosial
material lebih mudah dipahami karena bisa diamati. Fakta sosial material tersebut sering kali mengekspresikan kekuatan
moral yang lebih besar dan kuta yang sama-sama berada diluar individu dan
memaksa mereka. Kekuatan moral inilah yang disebut dengan fakta sosial
nonmaterial.
b. Fakta
sosial Nonmaterial
Durkheim
mengakui bahwa fakta sosial nonmaterial memiliki batasan tertentu, ia ada dalam
fikiran individu. Akan tetapi dia yakin bahwa ketika orang memulai berinteraksi
secara sempurna, maka interaksi itu akan mematuhi hukumnya sendiri. Individu masih
perlu sebagai satu jenis lapisan bagi fakta sosial nonmaterial, namun bentuk
dan isi partikularnya akan ditentukan oleh interaksi dan tidak oleh individu.
Oleh karena itu dalam karya yang sama Durkheim menulis : bahwa hal-hal yang
bersifat sosial hanya bisa teraktualisasi melalui manusia; mereka adalah produk
aktivitas manusia.
Jenis-jenis
fakta sosial nonmaterial:
a. Moralitas
Perspektif
Durkheim tentang moralitas terdiri dari dua aspek. Pertama, Durkheim yakin
bahwa moralitas adalah fakta sosial, dengan kata lain, moralitas bisa
dipelajari secara empiris, karena ia berada di luar individu, ia memaksa
individu, dan bisa dijelaskan dengan fakta-fakta sosial lain. Artinya,
moralitas bukanlah sesuatu yang bisa dipikirkan secara filosofis, namun sesuatu
yang mesti dipelajari sebagai fenomena empiris. Kedua, Durkheim dianggap
sebagai sosiolog moralitas karena studinya didorong oleh kepeduliannya kepada
“kesehatan” moral masyarakat modern.
b. Kesadaran
Kolektif
Durkheim
mendefinisikan kesadaran kolektif sebagai berikut; “seluruh kepercayaan dan
perasaan bersama orang kebanyakan dalam sebuah masyarakat akan membentuk suatu
sistem yang tetap yang punya kehidupan sendiri, kita boleh menyebutnya dengan
kesadaran kolektif atau kesadaran umum. Dengan demikian, dia tidak sama dengan
kesadaran partikular, kendati hanya bisa disadari lewat kesadaran-kesadaran
partikular”.
Ada beberapa
hal yang patut dicatat dari definisi ini. Pertama, kesadaran kolektif terdapat
dalam kehidupan sebuah masyarakat ketika dia menyebut “keseluruhan” kepercayaan
dan sentimen bersama. Kedua, Durkheim memahami kesadaran kolektif sebagai
sesuatu terlepas dari dan mampu menciptakan fakta sosial yang lain. Kesadaran
kolektif bukan hanya sekedar cerminan dari basis material sebagaimana yang dikemukakan
Marx. Ketiga, kesadaran kolektif baru bisa “terwujud” melalui
kesadaran-kesadaran individual.
Kesadaran
kolektif merujuk pada struktur umum pengertian, norma, dan kepercayaan bersama.
Oleh karena itu, dia adalah konsep yang
sangat terbuka dan tidak tetap. Durkheim menggunakan konsep ini untuk
menyatakan bahwa masyarakat “primitif” memiliki kesadaran kolektif yang kuat,
yaitu pengertian, norma, dan kepercayaan bersama, lebih dari masyarakat modern.
c. Representasi
Kolektif
Contoh
representasi kolektif adalah simbol agama, mitos, dan legenda populer. Semuanya
mempresentasikan kepercayaan, norma, dan nilai kolektif, dan mendorong kita
untuk menyesuaikan diri dengan klaim kolektif. Representasi kolektif juga tidak
bisa direduksi kepada individu-individu, karena ia muncul dari interaksi
sosial, dan hanya bisa dipelajari secara langsung karena cenderung berhubungan
dengan simbol material seperti isyarat, ikon, dan gambar atau berhubungan
dengan praktik seperti ritual.
d. Arus
Sosial
Menurut
Durkheim, arus sosial merupakan fakta sosial yang tidak menghadirkan diri dalam
bentuk yang jelas. Durkheim mencontohkan dengan “dengan luapan semangat,
amarah, dan rasa kasihan” yang terbentuk dalam kumpulan publik.
e. Pikiran
Kelompok
Durkheim
menyatakan bahwa pikiran kolektif sebenarnya adalah kumpulan pikiran individu.
Akan tetapi pikiran individual tidak secara mekanis saling bersinggungan dan
tertutup satu sama lain. Pikiran-pikiran individual terus-menerus berinteraksi
melalui pertukaran simbol: mereka megelompokkan diri berdasarkan hubungan alami
mereka, mereka menyusun dan mengatur diri mereka sendiri. Dalam hal ini
terbentuklah suatu hal baru yang murni bersifat psikologis, hal yang tak ada
bandingannya di dunia biasa.
3. Teori
Bunuh Diri (Suicide)
Durkheim memilih
studi bunuh diri karena persoalan ini relative merupakan fenomena konkrit dan
spesifik, di mana tersedia data yang bagus cara komparatif. Akan tetapi, alasan
utama Durkheim untuk melakukan studi bunuh diri ini adalah untuk menunjukkan
kekuatan disiplin Sosiologi. Dia melakukan penelitian tentang angka bunuh diri
di beberapa negara di Eropa. Secara statistik hasil dari data-data yang
dikumpulkannya menunjukkan kesimpulan bahwa gejala-gejala psikologis sebenarnya
tidak berpengaruh terhadap kecenderungan untuk melakukan bunuh diri. Menurut
Durkheim peristiwa-peristiwa bunuh diri sebenarnya merupakan
kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang karena itu dapat dijadikan sarana
penelitian dengan menghubungkannya terhadap sturktur sosial dan derajat
integrasi sosial dari suatu kehidupan masyarakat.
Durkheim
memusatkan perhatiannya pada 3 macam kesatuan sosial yang pokok dalam
masyarakat:
a. Bunuh
Diri dalam Kesatuan Agama
Dari data
yang dikumpulan Durkheim menunjukkan bahwa angka bunuh diri lebih besar di
negara-negara protestan dibandingkan dengan penganut agama Katolik dan lainnya.
Penyebabnya terletak di dalam perbedaan kebebasan yang diberikan oleh
masing-masing agama tersebut kepada para penganutnya.
b. Bunuh
Diri dalam Kesatuan Keluarga
Dari
penelitian Durkheim disimpulkan bahwa semakin kecil jumlah anggota dari suatu
keluarga, maka akan semakin kecil pula keinginan untuk hidup. Kesatuan sosial
yang semakin besar, mengikat orang pada kegiatan-kegiatan sosial di antara
anggota-anggota kesatuan tersebut.
c. Bunuh
Diri dalam Kesatuan Politik
Dari data
yang dikumpulkan, Durkheim menyimpulkan bahwa di dalam situasi perang, golongan
militer lebih terintegrasi dengan baik, dibandingkan dalam keadaan damai.
Sebaliknya dengan masyarakat sipil.
Kemudian
data tahun 1829-1848 disimpulkan bahwa angka bunuh diri ternyata lebih kecil
pada masa revolusi atau pergolakan politik, dibandingkan dengan dalam masa
tidak terjadi pergolakan politik.
Durkheim
membagi tipe bunuh diri ke dalam 4 macam:
a. Bunuh
Diri Egoistis
Tingginya angka
bunuh diri egoistis dapat ditemukan dalam masyarakat atau kelompok di mana
individu tidak berinteraksi dengan baik dalam unit sosial yang luas. Lemahnya
integrasi ini melahirkan perasaan bahwa individu bukan bagian dari masyarakat,
dan masyarakat bukan pula bagian dari individu. Lemahnya integrasi sosial
melahirkan arus sosial yang khas, dan arus tersebut melahirkan perbedaan angka
bunuh diri. Misalnya pada masyarakat yang disintegrasi akan melahirkan arus
depresi dan kekecewaan. Kekecewaan yang melahirkan situasi politik didominasi
oleh perasaan kesia-siaan, moralitas dilihat sebagai pilihan individu, dan
pandangan hidup masyarakat luas menekan ketidakbermaknaan hidup, begitu
sebaliknya.
Durkheim
menyatakan bahwa ada faktor paksaan sosial dalam diri individu untuk melakukan
bunuh diri, di mana individu menganggap bunuh diri adalah jalan lepas dari
paksaan sosial.
b. Bunuh
Diri Altruistis
Terjadi
ketika integrasi sosial yang sangat kuat, secara harfiah dapat dikatakan
individu terpaksa melakukan bunuh diri. Salah satu contohnya adalah bunuh diri
massal dari pengikut pendeta Jim Jones di Jonestown, Guyana pada tahun 1978.
contoh lain bunuh diri di Jepang (Harakiri).
Bunuh diri
ini makin banyak terjadi jika makin banyak harapan yang tersedia, karena dia bergantung
pada keyakinan akan adanya sesuatu yang indah setelah hidup di dunia. Ketika
integrasi mengendur seorang akan melakukan bunuh diri karena tidak ada lagi
kebaikan yang dapat dipakai untuk meneruskan kehidupannya, begitu sebaliknya.
c. Bunuh
Diri Anomic
Bunuh diri
ini terjadi ketika kekuatan regulasi masyarakat terganggu. Gangguan tersebut
mungkin akan membuat individu merasa tidak puas karena lemahnya kontrol
terhadap nafsu mereka, yang akan bebas berkeliaran dalam ras yang tidak pernah
puas terhadap kesenangan.
Bunuh diri
ini terjadi ketika menempatkan orang dalam situasi norma lama tidak berlaku
lagi sementara norma baru belum dikembangkan (tidak ada pegangan hidup).
Contoh: bunuh diri dalam situasi depresi ekonomi seperti pabrik yang tutup sehingga
para tenaga kerjanya kehilangan pekerjangan, dan mereka lepas dari pengaruh
regulatif yang selama ini mereka rasakan.
Contoh
lainnya seperti booming ekonomi yaitu bahwa kesuksesan yang tiba-tiba individu
menjauh dari struktur tradisional tempat mereka sebelumnya melekatkan diri.
d. Bunuh
Diri Fatalistis
Bunuh diri
ini terjadi ketika regulasi meningkat. Durkheim menggambarkan seseorang yang
mau melakukan bunuh diri ini seperti seseorang yang masa depannya telah
tertutup dan nafsu yang tertahan oleh disiplin yang menindas. Contoh:
perbudakan.
4. Teori
tentang Agama (The Elemtary Forms of Religious Life)
Dalam teori
ini Durkheim mengulas sifat-sifat, sumber bentuk-bentuk, akibat, dan variasi
agama dari sudut pandang sosiologistis. Agama menurut Durkheim merupakan ”a
unified system of belief and practices relative to sacret things”, dan
selanjutnya “ that is to say, things set apart and forbidden – belief and
practices which unite into one single moral community called church all those
who adhere to them.” Agama menurut Durkheim berasal dari masyarakat itu
sendiri. Masyarakat selalu membedakan mengenai hal-hal yang dianggap sacral dan
hal-hal yang dianggap profane atau duniawi.
Dasar dari
pendapat Durkheim adalah agama merupakan perwujudan dari collective
consciouness sekalipun selalu ada perwujudaan-perwujudan lainnya. Tuhan
dianggap sebagai simbol dari masyarakat itu sendiri yang sebagai collective
consciouness kemudian menjelma ke dalam collective representation. Tuhan itu
hanya lah idealisme dari masyarakat itu sendiri yang menganggapnya sebagai
makhluk yang paling sempurna (Tuhan adalah personifikasi masyarakat).
Kesimpulannya, agama merupakan lambang collective representation dalam
bentuknya yang ideal, agama adalah sarana untuk memperkuat kesadaran kolektif
seperti ritus-ritus agama. Orang yang terlibat dalam upacara keagamaan maka
kesadaran mereka tentang collective consciouness semakin bertambah kuat.
Sesudah upacara keagamaan suasana keagamaaan dibawa dalam kehidupan
sehari-hari, kemudian lambat laun collective consciouness tersebut semakin
lemah kembali.
Durkheim
tertarik dengan moralitas, karena pada saat dia hidup revolusi Perancis sedang
terjadi. Konflik di mana-mana dan situasi politik begitu kacau. Durkheim
berpikir, jika ada sesuatu yang bisa dibuat bersama maka konflik itu akan
berkesudahan. Sesuatu itu menurut Duekheim adalah konsensus bersama. Oleh sebab
itu teori Durkheim yang tekenal adalah teori Konsensus.
Pandangan
Tentang Manusia
Teori
Durkheim mengenai kodrat manusia adalah dengan mengikuti gagasan-gagasan
Hobbes yang mengatakan bahwa manusia adalah seberkas penginderaan-penginderaan,
refleks-refleks dan naluri-naluri, tetapi dengan dua modifikasi:
Individu pada dirinya tanpa rasio, danManusia
tidak mempunyai pola-pola nafsu yang tetap yang mau tak mau dan niscaya terarah
menuju tujuan-tujuan khusus seperti pemeliharaan diri dan kejayaan.
Jadi, dalam
individu tak ada apa-apa dengan rasio atau naluri untuk membatasi cakupan dan
jangkauan nafsu-nafsunya.
Kecenderungan-kecenderungan
kodrat manusia yang dibayangkan Hobbes bersifat universal dalam kenyataan
bersifat sementara dan lokal.
Durkheim
memandang kodrat manusia sebagai sebuah abstraksi yang hampir total dari
tingkah laku manusia-manusia actual dalam situasi real. Apa yang biasanya kita anggap sebagai
ciri-ciri universal kodrat manusia, termasuk kemampuan untuk memilih dan
bernalar sebenarnya merupakan produsi situasi lingkungan yang sama-sama
dimiliki semua manusia-kehidupan di dalam kelompok sosial tertentu.
Durkheim
menjelaskan tentang “anomie”, sebuah kondisi manusiawi yang ditandai oleh
tidak adanya peraturan sosial adalah pandangannya tentang bentuk keadaan
manusia yang tidak sosial, non rasional dan tak berbentuk. Anomie adalah
penemuan konseptual Durkheim yang paling khas dalam teori sosialnya. Di dalam
analisisnya tentang tatanan sosial, dia mengandaikan bahwa bilamana
kekuatan-kekuatan moral kehidupan sosial ambruk, individu sama sekali berada
di laut tanpa gagasan apapun tentang tujuan apa yang harus dicapai atau bagaimana
hidup secara memuaskan. Jadi “anomie” adalah sebuah kondisi masyarakat dimana
agama, pemerintah dan moralitas telah kehilangan keefektifannya
Pandangan
Tentang Masyarakat
Manusia
secara kolektif mempunyai kepentingan satu terhadap yang lain. Durkheim melihat
ada perkembangan tingkat solidaritas pada masyarakat. Pada masyarakat yang
sederhana yang hubungan antar indi vidu masih dekat, maka solidaritas yang
terbentuk adalah solidaritas mekanik. Solidarstas mekanik terjadi karena
masing-masing anggota masyarakat merasa bagian dari masyarakat tersebut.
Dengan
berkembangnya masyarakat dan semakin kompleks maka solidaritas yang ada pada
masyarakat tersebut adalah solidaritas organis. Solidaritas organik terjadi
karena sudah ada diferensiasi dan spesialisasi fungsi dari masing-masing
anggota masyarakat, sehingga mereka saling ada ketergantungan. Agar tetap dapat
melangsungkan hidupnya maka mereka saling bekerjasama berdasarkan fungsi mereka
masing-masing.
1. Landasan Teori
Durkheim
mengajukan pengakuan untuk gagasan sebuah ilmu pengetahuan tentang masyarakat
yang bisa meyumbangkan pemecahan atas masalah-masalah moral dan intelektual
masyarakat. Dia berusaha menjadikan pandangan ini sebuah kenyataan di dalam
studi-studi pokok mengenai hakikat solidaritas sosial.
2. Pendekatan Durkheim
Dukheim
dipengaruhi oleh Aguste Comte yang adalah perintis paham positisme. Filsafat
positif, berakar kuat dalam kekaguman Durkheim. Sehingga ia menerapkan metode
tersebut untuk menemukan prinsip-prinsip keteraturan dan perubahan di dalam
masyarakat, sehingga menghasilkan sebuah susunan pengetahuan baru yang bisa
dipakai untuk mengorganisasikan masyarakat demi perbaikan umat manusia.
Pendekatan ilmiah dan rasionalis, yang dikombinasikan dengan sebuah perspektif
sejah.
3. Teori Durkheim tentang Manusia
Durkheim
berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang jelas bersifat manusiawi –seperti
bahasa, moralitas, agama dan kegiatan ekonomi. Memang persis karena tekanan
Durkheim bahwa betapa sedikitnya indivdu sebagai baha mentah yang dapat
dibentuk oleh pengaruh kehidupan kelompok dapat melampauhi masyarakat. Durkheim
memandang kodrat manusia sebagai sebuah abstraksi yang hampir total dari
tingkah-laku manusia-manusia aktual dalam situasi-situasi rel.
4. Teori Durkheim tentang Masyarakat
Bagi
Durkheim, masyarakat adalah sebuah tatanan moral, yaitu seperangkat tuntutan
normatif lebih dengan kenyataan ideal daripada kenyataan material, yang ada
dalam kesadaran individu dan meski demikian dalam cara tertentu berada di luar
individu. Durkheim membagi dua konsep yang berhubungan tentang kenyataan sosial
dalam masyarakat, yaitu: gambaran kolektif dan kesadaran kolektif. Gambaran kolektif adalah simbo-simbol yang
memiliki makna yang sama bagi semua anggota dalam masyarakat. Sedangkan
kesadaran kolektif adalah gagasan yang dimiliki bersama dalam sebuah
masyarakat.
5. Implikasi-Implikasi Praktis
Telaah
Durkheim terhadap tatanan sosial dan khsusnya dengan disintegrasi
masyarakat-masyarakat yang bercirikan pembagian kerja yang dipaksakan
dilukiskan dengan pandangannya dalam Suicide tentang apa yang terjadi kalau
kekuatan penata masyarakat hancur. Implikasi praktis dari Suicide searah dengan
Division of Labour di mana ia persis mencapai kesimpulan yang sama mengenai
kebutuhan akan penataan organis untuk memebendung anomie.
6. Penilaian dan Kristik terhadap Durkheim
Durkheim
merangsang penilaian kritis tidak semata-mata sebagai seorang filsuf yang
merekomendasikan sebuah pendekatan metodologis khusus terhadap studi sosial, tetapi
juga menurut standar-standar khusus terhadap studi sosial, tetapi juga menurut
standar-standar empiris yang ditemukannya sendiri. sebagai seorang empiris
praktis dia tak bisa menutup bahannya terhadap prosedur-prosedur pengujian
ilmiah.
Teori dan gagasan
Perhatian
Durkheim yang utama adalah bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas
dan koherensinya di masa modern, ketika hal-hal seperti latar belakang
keagamaan dan etnik bersama tidak ada lagi. Untuk mempelajari kehidupan sosial
di kalangan masyarakat modern, Durkheim berusaha menciptakan salah satu
pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena sosial. Bersama Herbert Spencer
Durkheim adalah salah satu orang pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat
berbagai bagian dari masyarakat dengan mengacu kepada fungsi yang mereka
lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan keseimbangan masyarakat – suatu
posisi yang kelak dikenal sebagai fungsionalisme.
Durkheim
juga menekankan bahwa masyarakat lebih daripada sekadar jumlah dari seluruh
bagiannya. Jadi berbeda dengan rekan sezamannya, Max Weber, ia memusatkan
perhatian bukan kepada apa yang memotivasi tindakan-tindakan dari setiap
pribadi (individualisme metodologis), melainkan lebih kepada penelitian
terhadap "fakta-fakta sosial", istilah yang diciptakannya untuk
menggambarkan fenomena yang ada dengan sendirinya dan yang tidak terikat kepada
tindakan individu. Ia berpendapat bahwa fakta sosial mempunyai keberadaan yang
independen yang lebih besar dan lebih objektif daripada tindakan-tindakan
individu yang membentuk masyarakat dan hanya dapat dijelaskan melalui
fakta-fakta sosial lainnya daripada, misalnya, melalui adaptasi masyarakat
terhadap iklim atau situasi ekologis tertentu.
Dalam
bukunya “Pembagian Kerja dalam Masyarakat” (1893), Durkheim meneliti bagaimana
tatanan sosial dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat. Ia memusatkan
perhatian pada pembagian kerja, dan meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam
masyarakat tradisional dan masyarakat modern[1]. Para penulis sebelum dia
seperti Herbert Spencer dan Ferdinand Toennies berpendapat bahwa masyarakat
berevolusi mirip dengan organisme hidup, bergerak dari sebuah keadaan yang
sederhana kepada yang lebih kompleks yang mirip dengan cara kerja mesin-mesin
yang rumit. Durkheim membalikkan rumusan ini, sambil menambahkan teorinya
kepada kumpulan teori yang terus berkembang mengenai kemajuan sosial,
evolusionisme sosial, dan darwinisme sosial. Ia berpendapat bahwa
masyarakat-masyarakat tradisional bersifat ‘mekanis’ dan dipersatukan oleh
kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama, dan karenanya mempunyai banyak
kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat tradisional, kata Durkheim,
kesadaran kolektif sepenuhnya mencakup kesadaran individual – norma-norma
sosial kuat dan perilaku sosial diatur dengan rapi.
Dalam
masyarakat modern, demikian pendapatnya, pembagian kerja yang sangat kompleks
menghasilkan solidaritas 'organik'. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang
pekerjaan dan peranan sosial menciptakan ketergantungan yang mengikat orang
kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan
mereka sendiri. Dalam masyarakat yang ‘mekanis’, misalnya, para petani gurem
hidup dalam masyarakat yang swa-sembada dan terjalin bersama oleh warisan
bersama dan pekerjaan yang sama. Dalam masyarakat modern yang 'organik', para
pekerja memperoleh gaji dan harus mengandalkan orang lain yang mengkhususkan
diri dalam produk-produk tertentu (bahan makanan, pakaian, dll) untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Akibat dari pembagian kerja yang semakin rumit ini, demikian
Durkheim, ialah bahwa kesadaran individual berkembang dalam cara yang berbeda
dari kesadaran kolektif – seringkali malah berbenturan dengan kesadaran
kolektif.
Durkheim
menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat tertentu dengan dominasi
dari suatu sistem hukum. Ia menemukan bahwa masyarakat yang memiliki
solidaritas mekanis hokum seringkali bersifat represif: pelaku suatu kejahatan
atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas
kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu; hukuman itu bertindak
lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran. Sebaliknya, dalam masyarakat
yang memiliki solidaritas organic, hukum bersifat restitutif: ia bertujuan
bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu
masyarakat yang kompleks.
Jadi,
perubahan masyarakat yang cepat karena semakin meningkatnya pembagian kerja
menghasilkan suatu kebingungan tentang norma dan semakin meningkatnya sifat
yang tidak pribadi dalam kehidupan sosial, yang akhirnya mengakibatkan
runtuhnya norma-norma sosial yang mengatur perilaku. Durkheim menamai keadaan
ini anomie. Dari keadaan anomie muncullah segala bentuk perilaku menyimpang,
dan yang paling menonjol adalah bunuh diri.
Durkheim
belakangan mengembangkan konsep tentang anomie dalam "Bunuh Diri",
yang diterbitkannya pada 1897. Dalam bukunya ini, ia meneliti berbagai tingkat
bunuh diri di antara orang-orang Protestan dan Katolik, dan menjelaskan bahwa
kontrol sosial yang lebih tinggi di antara orang Katolik menghasilkan tingkat
bunuh diri yang lebih rendah. Menurut Durkheim, orang mempunyai suatu tingkat
keterikatan tertentu terhadap kelompok-kelompok mereka, yang disebutnya
integrasi sosial. Tingkat integrasi sosial yang secara abnormal tinggi atau rendah
dapat menghasilkan bertambahnya tingkat bunuh diri: tingkat yang rendah
menghasilkan hal ini karena rendahnya integrasi sosial menghasilkan masyarakat
yang tidak terorganisasi, menyebabkan orang melakukan bunuh diri sebagai upaya
terakhir, sementara tingkat yang tinggi menyebabkan orang bunuh diri agar
mereka tidak menjadi beban bagi masyarakat. Menurut Durkheim, masyarakat
Katolik mempunyai tingkat integrasi yang normal, sementara masyarakat Protestan
mempunyai tingat yang rendah. Karya ini telah memengaruhi para penganjur teori
kontrol, dan seringkali disebut sebagai studi sosiologis yang klasik.
Akhirnya,
Durkheim diingat orang karena karyanya tentang masyarakat 'primitif' (artinya,
non Barat) dalam buku-bukunya seperti "Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan
Agama" (1912) dan esainya "Klasifikasi Primitif" yang ditulisnya
bersama Marcel Mauss. Kedua karya ini meneliti peranan yang dimainkan oleh
agama dan mitologi dalam membentuk pandangan dunia dan kepribadian manusia
dalam masyarakat-masyarakat yang sangat 'mekanis' (meminjam ungkapan Durkheim)
Tentang
pendidikan
Durkheim
juga sangat tertarik akan pendidikan. Hal ini sebagian karena ia secara
profesional dipekerjakan untuk melatih guru, dan ia menggunakan kemampuannya
untuk menciptakan kurikulum untuk mengembangkan tujuan-tujuannya untuk membuat
sosiologi diajarkan seluas mungkin. Lebih luas lagi, Durkheim juga tertarik
pada bagaimana pendidikan dapat digunakan untuk memberikan kepada warga Prancis
semacam latar belakang sekular bersama yang dibutuhkan untuk mencegah anomi
(keadaan tanpa hukum) dalam masyarakat modern. Dengan tujuan inilah ia
mengusulkan pembentukan kelompok-kelompok profesional yang berfungsi sebagai
sumber solidaritas bagi orang-orang dewasa.
Durkheim
berpendapat bahwa pendidikan mempunyai banyak fungsi:
1)
Memperkuat solidaritas sosial
Sejarah:
belajar tentang orang-orang yang melakukan hal-hal yang baik bagi banyak orang
membuat seorang individu merasa tidak berarti.
Menyatakan
kesetiaan: membuat individu merasa bagian dari kelompok dan dengan demikian
akan mengurangi kecenderungan untuk melanggar peraturan.
2)
Mempertahankan peranan sosial
Sekolah
adalah masyarakat dalam bentuk miniatur. Sekolah mempunyai hierarkhi, aturan,
tuntutan yang sama dengan "dunia luar". Sekolah mendidik orang muda
untuk memenuhi berbagai peranan.
3)
Mempertahankan pembagian kerja.
Membagi-bagi
siswa ke dalam kelompok-kelompok kecakapan. Mengajar siswa untuk mencari
pekerjaan sesuai dengan kecakapan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar