Konflik Pemindahan Ibut Kota Kabupaten Maybrat dan
Pemilukada kabupaten Maybrat Papua Barat
Profil Entitas Kabupaten Maybrat
Sejarah
Kabupaten
Maybrat adalah salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Papua Barat.
Kabupaten Maybrat dibentuk pada tanggal 16 Januari 2009 disahkan melalui UU RI
Tahun 2009 Nomor 13 tentang Pembentukan Kabupaten Maybrat sebagai hasil
pemekaran dari kabupaten Sorong.Pusat Pemerintahan dari Kabupaten maybrat
berada di Kumurkek diDistrik Aifat. Kabupaten Maybrat memiliki sebelas distrik
yaitu :
1)
Distrik Aifat
2)
Distrik Aifat Utara
3)
Distrik Aifat Timur
4)
Distrik Aifat Selatan
5)
Distrik Aitinyo Barat
6)
Distrik Aitinyo
7)
Distrik Aitinyo Utara
8)
Distrik Ayamaru
9)
Distrik Ayamaru Utara
10)
Distrik Ayamaru Timur
11)
Distrik Mare
Geografis
Secara Geografis Kabupaten
Maybrat berbatasan dengan :
Utara :
FEF,Senopi, Kebar
Selatan : Kokoda, Kais
Barat :
Moswaren, Wayer, Sawiat
Timur : Moskona Utara, Moskona Selatan
Bupati dan
Ketua DPRD Kabupaten Maybrat Provinsi Papua Barat meminta memindahkan ibukota
pemerintah Daerah ke Ayamaru dalam sidang pengujian UU No. 13 Tahun 2009
tentang Pembentukan Kabupaten Maybrat di Mahkamah Konstitusi (MK).Pemohon I
Bupati Bernard Sagrim dan Pemohon II Ketua DPRD Moses Murafer mempermasalahkan
UU Pembentukan Kabupaten Maybrat yang menyebutkan bahwa Ibukota Kabupaten
Maybrat berkedudukan di Kumurkek Distrik Aifat.
Kuasa Hukum
Pemohon Andi Asrun, saat membacakan permohonan di Jakarta, Senin, mengatakan
kedudukan Ibukota Maybrat di Kumurkek Distrik Aifat telah menghilangkan
aspirasi keinginan masyarakat yang seharusnya menjadi bahan pertimbangan para
pengambil kebijakan. Asrun juga mengungkapkan bahwa ketentuan tersebut telah
menimbulkan konflik horizontal antarsuku.
"Pada
tanggal 20 Januari 2009 di Kampung Yokase Distrik Ayamaru Utara telah terjadi
konflik antara Suku Ayamaru, Aitinyo, dan Aifat yang mengakibatkan rusaknya
berbagai fasilitas dan prasarana Pemerintah Ayamaru Utara yang dirusak oleh
massa," kata Asrun. Dia juga menjelaskan bahwa pemerintah daerah hingga
saat ini belum melakukan pembangunan infrastruktur karena letak geografis
Kumurkek yang jauh dan sulit dijangkau oleh masyarakat.
Hal ini
masih dipersulit dengan belum adanya sarana, prasarana dan infrastruktur dasar
guna menunjang kelangsungan dan kelancaran pemerintahan, seperti belum adanya
jalanan, jembatan, dan gedung pemerintahan.Dengan demikian, Asrun meminta MK
memberikan penafsiran yang tegas terhadap UU Pembentukan Kabupaten Maybrat yang
pada intinya memerintahkan pemerintah pusat agar menempatkan pusat pemerintahan
daerah Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat terpusat di Ayamaru. Sidang
perdana pengujian UU Pembentukan Kabupaten Maybrat ini dipimpin Akil Mochtar
sebagai ketua majelis panel didamping anggotanya Maria Farida dan Hamdan Zoelva.
Ibukota Kabupaten Maybrat Dipindah, Warga Protes
Tim
Penyelamat Kabupaten Maybrat, Apolos Sewa mengatakan, pemindahan secara sepihak
Ibukota Maybrat dari Kumurkek ke Ayamaru memicu protes warga, dan berpotensi
memicu perang suku di Kabupaten Maybrat, Papua Barat.
Apolos
menjelaskan, Mendagri Gamawan Fauzi telah mengeluarkan surat 4 Desember 2014
soal pemfungsian ibukota Maybrat di Kumurkek. Oleh karena itu, Bupati Maybrat,
Bernard Sagrim telah membangkang putusan mendagri tersebut. "Surat tersebut diabaikan oleh
bupati.kementerian dalam negeri juga telah meminta gubernur Papua Barat untuk
memfasilitasi pemberhentian bupati Maybrat karena membangkang terhadap
keputusan Mendagri. "Namun Bupati tidak mengindahkan," tegasnya,
Senin (22/9/2014).
Dia mengatakan,
agar konflik berkepanjangan di Kabupaten Maybrat segera berakhir, harus segera
diciptakan solusi diantaranya segera membentuk daerah otonom
baru."Pembentukan daerah otonom ini sudah dibahas dalam rapat yang
dipimpin oleh Dirjen Otda Djo Hermansyah," tegas Apolos.
Pihaknya
juga juga telah melaporkan
ketidakstabilan penyelenggaraan pemerintahan Maybrat, Papua sejak dimekarkan
tahun 2009 kepada Komnas HAM. Tim penyelamat meminta Komnas Ham untuk segera
membantu kabupaten Maybrat bebas dari konflik suku.
"Kami
masyarakat Tim Penyelamat Kabupaten Maybrat memohon kepada Komnas Ham agar
berkenan membantu kami menyampaikan pengaduan kepada Kementerian Dalam Negeri
dan Komisi II DPR RI agar menjadi prioritas untuk dibahas dalam panja,"
Pemerintahan Maybrat Harus Dikembalikan ke Kumurkek
Mendagri
Beri Batas Waktu Hingga Bulan Maret
Gubernur
Papua Barat telah dimandatkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk
memfasilitasi difungsikannya ibukota Kabupaten Maybrat berdasarkan pasal 7 UU
Nomor 13 Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabupaten Maybrat dengan ibukota
berkedudukan di Kumurkek Distrik Aifat, mengingat selama ini aktifitas
pemerintahan Kabupaten Maybrat dilaksanakan di luar ibukota kabupaten. Demikian
dikemukakan oleh anggota DPRD Kabupaten Maybrat, Maksimus Air,SE yang
didampingi Paskalis Baru,S.Pd dan Sepnat Momau, di lobby hotel Merdien, semalam
(6/1).
Dijelaskannya,
Mendagri Gamawan Fauzi telah mengeluarkan surat tertanggal 4 Desember 2012 yang
ditujukan kepada Gubernur Papua Barat, agar memfasilitasi pemfungsian kembali
pemerintahan Maybrat di Kumurkek. Surat Mendagri tersebut lanjut Maksimus,
menegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-VII tertanggal 12
November 2009 yang menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat
diterima.Putusan MK ini telah final menyatakan menolak gugatan Bupati Maybrat
pada saat itu terkait gugatan Bupati Maybrat untuk memindahkan letak ibukota
Kabupaten Maybrat di Kumurkek untuk dipindahkan ke Ayamaru.Jadi kalau, ada
pihak-pihak yang membaca pertimbangan hakim, kami perlu meluruskan bahwa
pertimbangan hakim tidak bisa dijadikan alat untuk mengorek keputusan MK, tegas
Maksimus.
Dalam poin
kedua surat Mendagri ke Gubernur Papua Barat, Maksimus mengatakan, untuk
efektifitas penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Maybrat, Mendagri meminta
Gubernur untuk melakukan fasilitasi pemfungsian kelembagaan perangkat daerah
yang ada dan konsolidasi penataan personil. Ini berkaitan dengan penempatan
personil yang tidak sesuai berdasarkan UU Kepegawaian, penempatan personil tidak
sesuai dengan pangkat dan golongan, misalkan pegawai golongan 2 bisa jadi
Kepala Distrik, sekertaris kampong yang SK-nya dari Jakarta bisa dipindahkan ke
SKPD, banyak guru dan tenaga medis diangkat jadi pejabat sehingga pendidikan
dan kesehatan tidak bisa diurus dengan baik ini, tukas Maksimus Air.
Dikatakannya,
dalam point ketiga surat tersebut, Mendagri memerintahkan kepada Gubernur Papua
Barat bahwa seluruh kegiatan penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Maybrat
harus di Kumurkek paling lambat efektif bulan Maret 2013. Surat ini resmi
dikeluarkan oleh Mendagri Gamawan Fauzi dan ditandagangani, tidak ada rekayasa
dalam surat ini, jadi pemerintah harus melaksanakan amanat undang-undang, tegas
Maksimus Air sembari menunjukkan salinan surat Mendagri tersebut kepada
wartawan. Dalam kapasitas sebagai wakil rakyat, Maksimus yang didampingi dua
anggota DPRD Maybrat lainnya, menegaskan bahwa pemerintahan Kabupaten Maybrat
harus kembali ke Kumurkek, tidak ada alasan apapun untuk tidak memindahkan
ibukota ke Kumurkek. Kalau selama ini ada alasan bahwa Kumurkek tidak aman,
harus dibuktikan, tidak aman dari sisi apa. Juga ada laporan bahwa Kumurkek itu
daerah OPM, harus dibuktikan, basisnya dimana, pentolannya siapa-siapa,
pembiayaannya dari mana, kegiatan rutinitas yang selama ini terjadi itu apa?,
tegasnya. Di wilayah Papua Barat ini OPM
secara terstruktur itu tidak ada, sebenarnya kami ini adalah pejuang reformasi
yang akhirnya kemudian dinikmati oleh semua pejabat di tanah ini. Kumurkek itu
aman 100 persen, rakyat di Aifat sama dengan rakyat di Ayamaru dan Aitinyo,
tambah Maksimus.
Paskalis
Baru,S.Pd dalam kesempatan ini mengharapkan Bupati Maybrat harus berjiwa besar
dan tulus. Kalau selalu berbicara bahwa kita semua adalah anak Tuhan, maka
harus menerima sebagai seorang anak Tuhan. Juga kepada pihak TNI dan Polri yang
selama ini memback-up Bupati dalam hal pengawalan dalam menjalankan tugas
kedinasannya, dengan telah dikeluarkannya surat Mendagri ini, maka diminta
untuk berhenti dengan cara-cara seperti itu, karena hal ini hanya akan menambah
konflik di Kabupaten Maybrat, tegasnya. Ditambahkannya, surat Mendagri ini
tidak ditujukan kepada Bupati Kabupaten Maybrat, tetapi kepada Gubernur Papua
Barat, dan selanjutnya Gubernur-lah yang harus mengambil langkah-langkah untuk
menindaklanjuti surat Mendagri tersebut. Terkait instruksi Mendagri ini,
Gubernur Papua Barat belum berhasil dimintai tanggapannya.
Pemilukada Maybrat
Semarak
pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada),
hampir terasa di sejumlah kabupaten/kota di Tanah Papua. Dari kabupaten induk
hingga kabupaten pemekaran, ada yang telah dan sedang dalam tahapan menuju
pelaksanaan event lima tahunan ini.
Kondisi ini ditandai dengan ramainya baliho, spanduk dan poster yang terpajang
di tempat-tempat umum. Tujuannya tidak lain, mensosialisasikan wajah dan
visi-misi para calon pemimpin yang akan bertarung meraih mandat rakyat secara
langsung.
Lagi-lagi,
semarak pemilukada seakan menyita perhatian rakyat asli Papua yang kini mulai
‘malas tau’ atau anti pati dengan keberadaan Otonomi Khusus.Situasi ini
belakangan cukup beralasan.Sebab, ditengah kesemrawutan (ketidak jelasan)
pelaksanaan Otsus, perhatian rakyat asli Papua justru tertuju pada pemilukada.
Ini terjadi karena ada wacana bombastis yang digembar-gemborkan bahwa lewat
pemilukada akan muncul pemimpin yang bisa memperhatikan kesejahteraan rakyat.
Praktis, wacana ini lalu menjadi ’pemanis’ yang menggaet perhatian rakyat Papua
di kota hingga kampung-kampung terpencil.
Konon, masyarakat
kampung yang tadinya hanya sibuk mengurus kebun, menokok sagu, berburu dan
melaut, kini secara sukarela meninggalkan aktivitas itu selama berhari-hari
karena ikut dimobilisasi dalam kampanye. Situasi ini terlihat dari rentetan
pemilukada di beberapa kabupaten seperti, Yahukimo, Supiori, Asmat, Yalimo,
Lani Jaya, Manokwari, Maybrat, Tambrauw, dan lain-lain. Momentum pemilukada
juga membuat masyarakat gelisah.Berharap melihat calon pemimpin pujaannya
segera memenangkan pertarungan dan menduduki kursi kepala daerah (berkuasa).
Bukan hanya
itu, pilkada juga membuat sesama keluarga dekat (inti) yang hidup serumah atau
sekampung malahan ikut-ikutan bersitegang (bertengkar) lantaran memiliki calon
pujaan yang berbeda. Sampai-sampai masyarakat yang tidak tahu-menahu soal
politik seperti keburu mimpi indah bahwa lewat pemilukada realitas hidup mereka
yang tadinya susah akan berubah drastis menjadi lebih baik. Situasi demikian
tentu berbeda dengan masyarakat asli Papua yang bermukim di kota. Mereka yang
memiliki tingkat ekonomi dan pendidikan politik yang jauh lebih maju dari
masyarakat di kampung, sebaliknya tidak begitu antusias dengan momentum
pemilukada.
Ada yang
bahkan tidak mau menggunakan hak pilihnya, alias memilih golongan putih
(golput). Ini terjadi karena munculnya kesadaran kritis dalam memandang event
lima tahunan ini lebih sebagai sinetron demokrasi. Artinya, meskipun diulang
tiap lima tahun sekali, toh pemimpin yang terpilih tetap begitu-begitu saja.
Sikap itu pun tak bedanya dengan masyarakat migran (non Papua) yang selama ini
masih apatis dengan perhelatan pemilukada di Tanah Papua.Tak jarang muncul
pemikiran seperti ini, “untuk apa ikut-ikutan pemilukada kalau hasilnya nanti
tidak mengakomodir kepentingan kita.”
Meskipun
sudah lama menetap di Papua, masih tetap ada masyarakat migran yang menganggap
event pemilukada dilakukan hanya bagi orang asli Papua.Kalau pun mereka ikut
dalam pemilukada, ini hanya sebatas formalitas karena bukan lahir dari suatu
kesadaran politik berdemokrasi.Tragisnya, perhelatan pemilukada di Tanah Papua
sejauh ini tidak pernah sepi dari berbagai polemik.Di beberapa wilayah konflik
pun pecah hingga terjadi berulang-ulang. Satu peristiwa yang masih segar di
ingatan kita adalah bentrok warga di Kab. Maybrat, akhir Juli 2011 lalu.Akibatnya,
salah satu warga masyrakat asal kampung Ayawasi beranisial K. T membacok ketua
KPUD Kab. Maybrat dengan pedang milik-nya. Namun, nasib korban masih selamat ditertolong
oleh pihak medis. Penyebab bentrok ini terjadi karena ketidak puasaan warga
terhadap rekaptulasi suara KPU Kab. Maybrat “menurut mereka/warga bahwa bahwa
ketua KPU telah melakukan tindakan tidak merata yaitu memanupulasi dafatr
pemiliahn tetap (DPT), karena katu KPU telah disogog oleh salah satu kanidat
dengan perjanjian politik” ungkap salah satu warga asal kampong Maan Distrik
Aifat Utara Fabianus. Baru
Peristiwa
ini sempat mendapat pemberitaan media massa di Indonesia maupun media
internasional seperti BBC, VOA, Radio Netherland dan Radio Autralia. Bentrok di
Kab. Maybrat bermula dari adanya dukungan ganda DPC Partai Golkar kepada dua
calon kandidat yang berbeda.Dualisme dukungan ini membawa ketegangan diantara
kedua calon hingga ikut menyulut ketegangan diantara kedua kubu pendukung
calon.Hasilnya, bentrok tak bisa dicegah hingga pecah di hari pertama Sabtu
(30/7) dan Minggu (31/7).Padahal KPUD setempat belum melakukan verifikasi
berkas para calon kandidat untuk menyatakan mana yang lolos verifikasi dan mana
yang tidak.
Dampak dari
konflik ini sempat membuat situasi di wilayah ini mencekam selama beberapa
minggu sehingga membutuhkan campur tangan aparat keamanan. Selanjutnya di awal
September 2011, konflik di wilayah yang sama kembali terulang dengan melibatkan
warga masyarakat. Meskipun tidak ada korban jiwa dalam insiden ini, beberapa
orang yang terprovokasi hasutan telah melakukan tindakan anarkis dengan merusak
dan membakar sejumlah bangunan.Selain konflik pemilukada di Kab. Maybrat
sebelumnya juga diberitakan media bahwa konflik pemilukada pun pernah terjadi
di beberapa daerah di Kab. Maybrat
Misalnya,
kisruh berbuntut pembakaran kantor-kantor di Maybrat, kasus pembacokan ketua KPUD dan pembakaran
kantor KPUD Maybrat, atau kisruh terkait proses pencalonan pada pemilukada Kab.
Maybrat (Prov. Irian Jaya Barat).Belum lagi jika disinggung satu per satu
mengenai perkara sengketa para calon yang bertarung dalam pemilukada dengan
KPUD sebagai institusi penyelenggara pemilihan.Sengketa semacam ini umumnya
berakhir di Mahkamah Konstitusi (MK) RI Jakarta. Sebut saja polemik seputar
pemilukada Kab. Maybrat yang berujung
penggantian ketua KPU dan ketua Panwaslu Kab. Maybrat lantaran terlibat tindak
pidana pemilukada, serta pelaksanaan pemilihan harus berlangsung 2 kali
putaran.
Padahal
sebagai sebagai kabupaten baru yang dimekarkan, lewat penyelenggaraan pemilihan
yang baik akan memberi pembelajaran politik bagi kabupaten lain yang hendak
melangsungkan pemilukada. Kabupaten Maybrat juga mestinya bisa mempelopori
kemajuan berdemokrasi dan berpolitik di Tanah Papua.Sebab disinilah pusat
pembangunan dan gudangnya kalangan cendekiawan Papua. Mulai dari para politisi
dan fungsionaris partai yang terpelajar, kaum agamis, media massa, hingga
aktivis (LSM/perorangan) yang kritis semuanya berbasis disini. Hanya saja,
dalam pelaksanaan pemilukada ternyata bertolak belakang dengan keunggulan Kab.
Maybrat sebagai pusat kemajuan.
Ada kesan
bahwa sejumlah kalangan seperti disebutkan itu kurang memberi sumbangsih nyata
terhadap kemajuan berdemokrasi bagi masyarakat di Kab. Maybrat. Lebih-lebih
pendidikan politik bagi masyarakat pinggiran (marginal) yang hidup dari hasil
berkebun, membabat hutan, memecah batu, berjualan pinang, dan lain-lain.
Pengalaman membuktikan bahwa kelompok-kelompok marginal, kaum miskin kota dan
kaum yang kurang beruntung dalam indikator kemajuan (modern) inilah yang sering
menjadi sasaran garapan partai dan elit politik. Kelompok ini memang mudah
ditaklukan lewat cara bagi-bagi duit (uang), bagi sembako/beras hingga kegiatan
pengobatan gratis yang dibuat secara insidentil oleh partai atau tim sukses
calon menjelang pemilukada/pemilu.
Nah, konflik
berupa bentrok massa yang terkait dengan pemilukada seperti diuraikan
sebelumnya memang tidak terlepas juga dari realitas politik ‘buang umpan’
semacam itu. Disisi lain, konflik itu nyata-nyata telah mencoreng esensi dari
semangat berdemokrasi itu sendiri. Dengan begitu ini memunculkan kesan bahwa
jangan-jangan pemberlakuan demokrasi ala barat (Eropa dan AS) berwujud
pemilukada (pemilu) bisa jadi bertolak belakang dengan realitas perkembangan
orang Papua hari ini.Seperti kata Romo Magnis Suseno, demokrasi model ini hanya
bisa berjalan efektif jika diterapkan di negara-negara kapitalis yang tingkat
kesejahteraan mayoritas rakyatnya sudah mumpuni.
Disamping
tingkat kesadaran dan pendidikan politik rakyatnya juga sudah mapan. Sebab hal
ini akan membentuk rakyat pemilih yang rasional (cerdas) dalam memilih pemimpin
atau wakilnya di parlemen ketika berlangsung pemilihan. Jadi, dalam hal ini
rakyat bukan lagi memilih pemimpin atas dasar dorongan primordialisme kesukuan
(klen, marga, hubungan emosional) sempit, seperti yang masih kental terjadi di
Tanah Papua.Atau karena politik bagi uang (money politik), pembagian sembako
dan beras murah jelang pemilukada atau pemilu.Akibatnya situasi ini membentuk
para pemilih yang tidak rasional dan hanya terlena pada situasi (pragmatis) dalam
menentukan pemimpin.
Belum lagi, jika
tingkat kesadaran dan pendidikan politik yang rendah, membuat para elit dan
fungsionaris partai mudah memobilisai rakyat untuk tujuan politiknya. Pantas
saja, dalam situasi semacam ini massa pendukung calon berbeda yang tidak
mengerti politik dan demokrasi sering terprovokasi hingga bentrok. Padahal
dalam etika politik, baik elit dan parpol wajib memberi penyadaran dan
pendidikan politik bagi rakyat agar menjadi pemilih yang cerdas.Bukan
sebaliknya menjadi pemilih yang tidak rasional, ikut-ikutan dan pragmatis.Bisa
dimengerti, mengapa demokrasi yang seharusnya tercermin dari pemilukada, sejauh
ini hanya dimaknai dalam pengertian sempit?
Tentu ini
lebih disebabkan oleh demokrasi bercorak primordialisme sempit, yang oleh para
elit lokal Papua sering dimanfaatkan sebagai jalan mencari kekuasaa.Lalu ketika
berkuasa, ada peluang untuk memperkaya diri dan kelompok dengan jalan menumpuk
materi sebanyak-banyaknya.Demokrasi yang secara sederhana dipahami sebagai
“dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat,” dalam prakteknya telah bergeser
menjadi “dari rakyat, oleh rakyat tapi untuk satu dan sekelompok orang.”Ini
persis terlihat ketika semua energi yang dikorbankan rakyat hampir terlupakan
begitu saja oleh elit-elit politik pembual dan partai politik yang tak tahu
berbalas budi.
Padahal
disaat-saat kampanye, kaum buruh, petani, nelayan dan kaum miskin kota yang
ikut termobilisasi harus rela menahan haus bercampur lapar ditengah terpaan
terik matahari. Ini demi mendengar retorika muluk-muluk dari sang calon yang
telah menjual tampang di tempat umum via baliho dan pamflet. Toh hasilnya
rakyat tetap saja menjadi tumbal bagi para elit petualang politik untuk
memenuhi hasrat kekuasaan. Sembari tetap tidak peduli kalau rakyat pendukungnya
sejak awal telah berkutat mati-matian hanya untuk membela sang calon pujaannya.
Ketika sudah
menjadi pemimpin, namun karena dianggap tidak becus memimpin, rakyat pun tak
berdaya menurunkan pemimpinya.Sebab memang tidak ada mekanisme untuk itu. Lagi
pula dalam sistem politik Indonesia, tidak ada aturan hukum yang memungkinkan
dibuatnya semacam “kontrak politik” antara rakyat dan elit politik yang mau
memimpin. Ini agar rakyat secara langsung bisa menurunkan (memecat) pemimpin
yang dinilai tidak beres melalui mosi tidak percaya dalam suatu aksi massa.
Tapi itu mustahil, karena demokrasi berwujud pemilukada mungkian akan tetap
menguras energi rakyat.